Breaking News

Kamis, 04 Juni 2009

Dendam Membawa Hikmah


Dulu aku pernah ingin menuliskan kisah ini, tapi tertunda. Sampai suatu hari, teman sekelasku mengingatkan peristiwa ini, tapi dalam persepsi yang sama sekali berbeda dari yang kuharapkan. Dia cuma bilang “eh… inget nggak, dulu kamu pernah dimarahi guru, Bpk. Cepot, gara-gara ngobrol dalam kelas?”.Ha.. ngobrol…Aduh!!.. padahal waktu itu bukan ‘gara-gara ngobrol’, tapi ada esensi yang lebih penting lagi!!)


Kelas dua SMP, kelas yang menyenangkan, penuh canda tawa dan aku memang termasuk orang yang senang bergurau. Semua pelajaran terasa menyenangkan bagiku, guru-gurunya menarik. Guru matematika, terutama, yang sering memberikan semangat belajar. Guru seni rupa, yang ‘cocok’ dengan seleraku karena selalu memberikan nilai bagus atas karya gambarku. Guru Fisika, yang meskipun agak galak, tetapi tetap bisa menarik minat atas pelajarannya. Diantara sekian banyak guru-guru tersebut, ada satu guru yang menurutku saat itu sangat tidak menyenangkan, padahal pelajarannya aku senangi, yaitu guru pelajaran Geografi dan Sejarah. Guru ini sangat tidak menyenangkan karena caranya menyampaikan pelajaran yang sering diiringi dengan canda, tetapi dengan ungkapan-ungkapan yang tidak enak didengar. Mungkin maksudnya bercanda, tapi kalo keseringan, aku risi mendengarnya.

Terlebih lagi, jika dalam bercanda itu dia sering menyebut-nyebut nama teman-temanku. Misalnya..:

“si A.. kok pacaran aja sama si B?” Oke.. itu masih biasa lah..,

Atau sekali waktu..” Kenapa perempuan itu suka kacang-kacangan? kayak si Juju (nama temenku yang kebetulan tergolong cantik), soalnya dia nggak punya kacang!! Bener nggak? Tanya aja sama si Dudu??” (nama temanku, laki-laki, yang berbadan agak subur), semua tergelak-gelak, menganggap itu lucu. Tapi aku lihat, betapa merahnya muka Juju temanku.

Pernah sekali waktu, ketika menjelaskan perang-perang kemerdekaan, tiba-tiba pak Cepot ini bertanya.. “berdasarkan data, ternyata pertumbuhan penduduk di masa peperangan sangatlah menurun drastis dibandingkan masa damai. Kenapa coba?”

Kami berfikir serius, kemudian aku menjawab “Kan banyak yang meninggal di peperangan!”,

“Bisa…! Tapi sebab utamanya adalah..nggak sempet bikinnya..!! Ha..ha..ha.., kenapa coba? Kan nggak konsen tu..!!” dia tertawa.

Sebagian teman yang sudah mengerti arah pembicaraan tersebut ikut tertawa, sebagian lagi yang masih belum menangkap maksudnya, bingung!! Bisik sana bisik sini.., apa si lucunya??? Aku sendiri merasa ditertawakan habis-habisan.

Selain lontaran-lontaran humor yang menurutku kadang-kadang tidak enak didengar, aku juga merasakan laju materi pembelajaran lama sekali. Sudah hampir beberapa bulan, dan kami hanya mempelajari dua-tiga bab saja, itupun sebagian berupa tugas “merangkum dan menjawab pertanyaan”.

Rupanya, diam-diam, rasa ketidaksukaan ini makin bertumpuk, bukan hanya dalam pikiranku saja, tetapi juga beberapa teman-temanku, terutama yang sering dijadikan sasaran bulan-bulanan canda pak Cepot.

Suatu kali, seperti biasa, pak Cepot sedang menerangkan satu topic sejarah, sepertinya tentang kesaktian Pancasila, dan sejenis itu. Aku tidak ingat persis materi apa yang disampaikan, karena sudah sejak awal dia bercanda, dengan gaya candanya yang makin lama makin membuat aku muak. Aku juga tidak ingat bagaimana mulanya, hanya aku ingat, ditengah-tengah tawa yang menggelak di dalam kelas, tiba-tiba dia berteriak keras.

“eh.. sini..sini.. tadi kamu lempar kertas apa?”, tangan dan matanya menunjuk ke salah satu rekanku. Hafsah, yang duduk di deret bangku tepat di seberang bangku Juju. Dengan takut-takut Hafsah menggeleng…

“enggak pak.. enggak lempar apa-apa…!”

“eh.. bohong.. dari tadi saya liat kamu lempar-lemparan kertas dengan Juju.. ayo bawa sini, kertas apa itu..??” Suara pak cepot menggelegar, kami semua terdiam.

Dengan takut-takut, Hafsah maju menyerahkan sobekan kertas kecil yang tampak sudah diremas-remas.

Pak Cepot membuka kertas tersebut, meluruskannya dan membaca tulisan pada kertas tersebut keras-keras.

“Sah, gua sebel banget sama guru ini..!! elo gimana?”

“Iya.. gue juga sebel banget, nggak lucu taoo, ngajarnya ngaco”

“Iya tu.. dasar guru nyebelin!!”

Ooo, rupanya kertas itu memuat tulisan bersambung yang dilempar berkali-kali antara Juju dah Hafsah. Muka pak Cepot merah padam, matanya membesar dan tampangnya menakutkan. Kami semua terdiam dan merasa bahwa pak Cepot akan marah besar.

“Jadi begitu ya..??? Kamu nggak suka dengan cara saya mengajar? Padahal kamu yang suka bercanda ketika saya menerangkan”. Pak Cepot melayangkan pandangan menyapu seluruh ruang kelas. Kami semua terdiam ketakutan. Aku juga tertunduk, tapi dalam hati dan pikiranku, aku marah besar, aku sudah tidak kuat menahan rasa jengkel.

“Bagus..bagus..!! Siapa lagi yang nggak suka dengan cara saya mengajar??” Tiba-tiba pak Cepot seperti menantang kami…

Jreng!! Tanpa aku sadari, rupanya tanganku sudah terangkat.., tegas, tanpa ragu-ragu dan didorong oleh emosi yang meledak-ledak. Aku juga heran, koq bisa si tangan ini tiba-tiba naik ke atas!! Tapi sudah terlanjur!! Pak Cepot tersentak, rupanya dia tidak menduga tantangannya berjawab. Lebih tidak menduga lagi, ternyata aku yang menjawab tantangan itu. Waktu itu, aku sudah terkenal sebagai siswa dengan prestasi yang lumayan bagus, minimal di kelas itu. Pak Cepot langsung bertanya dengan nada tinggi

“Ha..? Kamu nggak suka dengan cara aku ngajar? Kenapa??”

Aku sebenarnya takut sekali, panik dan bingung, tapi hati kecilku tidak mengijinkan aku untuk mundur. Maju terus..!!

“Soalnya menurut saya, bapak kalo mengajar suka memberikan contoh-contoh yang nggak sopan!!”, aku menjawab lantang dan lancang.

Plass.., muka pak Cepot makin memerah mendengar jawabanku, matanya melotot seakan ingin keluar dari tempatnya, urat lehernya menonjol semua.

“Ha..??? coba jelaskan apa yang kamu maksud dengan nggak sopan itu?? Apa coba??”

“Perkataan yang bapak gunakan itu, menyinggung hati perempuan!” aku menjawab sekenanya.

“Ha..ha..ha…, memangnya makhluk di kelas ini cuma perempuan aja??”, pak Cepot semakin marah, jelas sekali dia tidak tertawa karena merasa lucu.

“Saya juga merasa materi sangat lambat, kita sudah dekat ulangan umum, tapi baru 2 bab yang selesai diterangkan”, aku nyeplos lagi seenaknya, tanpa aku sadari. Situasi makin tegang.

“Eh.. bisa-bisanya kamu ngomong gitu? Memangnya kamu tau seperti apa ngajar itu?” Pak Cepot bertambah marah.

Tapi, situasi tegang itu terpecahkan oleh suara bel pergantian pelajaran. Pak Cepot segera menghentikan marahnya, berjalan ke arah meja guru, membereskan buku-bukunya dan bergegas meninggalkan kelas sambil berucap.

“Kita teruskan nanti..!!”

Pak Cepot meninggalkan kelas dengan membanting pintu, jelas bahwa pak Cepot marah besar. Kami semua bernafas lega begitu pak Cepot meninggalkan kelas, sekaligus riuh rendah.

“Kamu kok berani gitu si?”

“Gimana kalo pak Cepot itu marah besar dengan kamu?”

“Kamu mau jawab apa besok?”

Demikian beberapa pertanyaan dari teman-temanku

Sementara itu, Juju dan Hafsah menghampiriku

“Tengkyu ya.. udah mau bantuin aku”

“Aku nggak bantuin kamu aja, aku emang sendiri udah sebel banget dengan si cepot itu”, aku menjelaskan.

Sebenarnya dalam hati, aku bukan hanya sangat ketakutan, tapi juga sangat marah dan kecewa. Ini membuatku sangat gelisah dan tidak bisa berfikir tenang. Aku berfikir, akan seperti apa esok harinya?

Semalaman aku gelisah, memikirkan apa yang akan aku hadapi esok harinya. Besok pasti masalah ini akan berlanjut. Sempat terlintas untuk membolos sekolah, tapi setelah aku pikir-pikir, sampe kapan? Apa masalahnya akan selesai jika aku lari? Apa nanti dikira aku pengecut? Apa nanti dikira aku merasa bersalah? Berbagai macam pikiran dan pertimbangan berkelebat di kepalaku semalaman. Akhirnya aku memutuskan akan pasrah dan menghadapi apapun yang terjadi.

Besoknya, sebelum kelas dimulai, rupa-rupanya berita ini sudah menyebar ke beberapa temanku di kelas lainnya. Beberapa menghampiri sekedar memberikan dukungan simpati, beberapa lagi menyayangkan, mengapa aku begitu berani, bahkan ada juga yang mentertawakan dan mengejekku, dibilang aku ini sok pahlawan. Aku berusaha menanggapinya dengan sikap tenang. Untuk yang mendukung, aku menanyakan, apa mereka benar-benar ingin mendukungku? Jika benar, apakah mereka berani melaporkan ini ke kepala sekolah? Sayangnya, tidak ada seorangpun yang bersedia memberikan dukungan penuh. Dukungan yang diterima, Cuma sebatas ucapan-ucapan

“Bagus.. biar sekali-sekali dia tau, kalo dia itu nyebelin”

“Tapi kamu mau nggak mbantu aku protes juga?” aku bertanya

“Ah.. nggak ah.. aku sih nggak seberani kamu.”

“Atau.. mau nggak bantu aku, ngelaporin ini ke kepsek, minimal mbantu aku, memperkuat saksi kalo si cepot ini ngajarnya suka berucap seperti itu?”

“Hm.. aku pikir-pikir dulu ya.., soalnya anu.. itu…”, mulai deh nggak jelas alasannya.

Cepat atau lambat, pelajaran Sejarah hari itu dimulai lagi. Kali ini kelas sunyi dan tegang. Semua menunggu seperti apa reaksi pak Cepot atas kejadian kemarin.

Pak Cepot masuk kelas, kelihatan lebih tenang, tapi dia membawa setumpuk buku-buku yang aku tidak tau buku apa. Aku juga sudah lebih tenang, menunggu seperti apa reaksinya.

“Baiklah anak-anak, saya ingin meluruskan hal yang kemaren.. Ya kamu

Bisa diulang kenapa kamu tidak suka dengan caraku mengajar? Kamu bilang materinya sangat lambat?” Pak Cepot mencoba memancing permasalahan yang kemarin belum selesai.

“Ya pak, saya lihat di buku teks saya, satu semester ini ada 6 bab, tetapi kita baru mempelajari dua bab, sedangkan ulangan akhir semester 1 bulan lagi”, aku mencoba berargumentasi.

“Kamu tau nggak? Saya itu ngajar ada pedomannya!! Kamu ngerti nggak apa itu GBPP? Apa itu SAP?? Kamu liat ini buku apa?? Saya ngajar nggak ngikutin buku teks itu. Apa kamu pernah kuliah di IKIP? Apa kamu tau cara mengajar?”, Pak Cepot langsung nyerocos, meraih setumpuk buku, membuka satu buku yang cukup tebal dan melemparnya langsung di depanku.

“Baca.. tu.. baca…!! Kalo kamu bilang saya telat..!! Baca dulu itu!!”

Aku diam tidak membantah, buku itu aku raih pelan-pelan. Isinya sama sekali tidak aku mengerti. Lha aku ini baru kelas 2 SMP. Aku lirik judul di bagian atasnya, sepintas aku baca ada judul-judul seperti ‘pertemuan ke’, kemudian ada ‘materi’ dan sejenis itu. Aku memutuskan tidak menjawab, karena aku merasa berada pada posisi yang lemah.

“Jangan sembarangan menuduh ya..! Kalo nggak ngerti mendingan diem aja! Lagian, kamu kan bisa belajar sendiri, nggak usah terus-terusan diterangin oleh guru!! Makanya kamu harus punya bukunya juga… ya buat dibaca…!! Ayo.. apa yang lain juga berpendapat begitu??”. Pak Cepot merasa menang karena aku diam saja.

“Terus, soal si Juju dan Hafsah itu, saya sengaja sering menyindir mereka, karena saya perhatikan, mereka itu selalu mengobrol dan bercanda ketika saya menerangkan! Jadi anak-anak yang saya sindir itu adalah anak-anak yang memang tidak memperhatikan!! Bukan asal sindir!!”, pak Cepot meneruskan pembelaannya.

“Tapi pak! Cara bercandanya jangan seperti itu. Kan kita tidak enak mendengarnya”, aku mencoba berargumentasi.

“Kenapa? Kenapa kamu nggak enak? Memangnya saya nyindir kamu??”

“Bukan begitu pak, seperti saya bilang kemaren, kurang sopan!”, aku nekad menjawab.

“Oo.. itu lagi.., kurang sopan!! Yang seperti apa kurang sopan itu??”

“Ya.. menyinggung perasaan perempuan pak!”

“Ah.. itu lagi.. kasian sekali ya.. kamu, perasaan kamu lembut sekali, segitu aja tersinggung, sedangkan teman-teman kamu nggak pada tersinggung tu..! Tanya aja.., siapa yang merasa tersinggung dengan canda-canda saya??” Pak Cepot menantang kelas sekali lagi. Semua terdiam, tidak ada satupun yang mengangkat tangan, termasuk Juju dan Hafsah.

“Tuh kan kamu lihat, tidak ada seorangpun yang tersinggung, Cuma kamu!!”

Aku diam, mangkel dan kehabisan kata-kata. Pak Cepot meneruskan ceramahnya hari itu, aku tidak bermaksud memperpanjang masalah dan memilih diam. Pak Cepot hanya mengajar sebentar hari itu, sebagian besar dia habiskan untuk menerangkan pembelaan dirinya atas semua tuduhan yang pernah aku ajukan, kemudian dia meninggalkan kelas sambil mengancam..

“Pokoknya saya tidak terima tuduhan kamu!! Kamu harus minta maaf!! Jika tidak, akan saya laporkan ke kepala sekolah sebagai penghinaan!!”

Aku bingung, tapi tidak menjawab apapun. Sepanjang istirahat, beberapa teman kembali berkunjung, menanyakan perkembangan kasus dengan tanggapan beragam. Tapi tidak satupun yang memberikan dukungan penuh, hanya sekedar omongan-omongan menambah semangat, tapi tidak ada yang menawarkan aksi nyata. Aku tiba-tiba menyadari bahwa aku berdiri sendiri dalam kasus ini. Tidak ada orang di belakangku, tidak juga disampingku, yang akan menopang jika aku terjatuh.

Semalaman aku berfikir, sikap seperti apa yang harus aku lakukan. Diam-diam aku bertanya kepada salah seorang kakakku, yang kebetulan kuliah di IKIP, apa sih isi GBPP dan SAP itu? Kakakku memberikan contoh-contoh, tapi aku tetap tidak mengerti. Kakakku bertanya, ada apa? Aku tidak bercerita apa-apa. Aku memutuskan akan menanggung sendiri semuanya.

Aku berfikir semua kemungkinan yang dapat aku lakukan. Aku mungkin akan bertahan, bahkan maju terus dan melaporkan pak Cepot ke guru BP atau kepsek. Tapi, bagaimana aku melakukan itu jika teman-teman tidak mendukung? Bagaimana jika Kepsek bertanya, siapa lagi yang bersedia bersaksi dan aku tidak menemukan satupun di antara mereka. Bagaimana jika Kepsek lebih percaya kepada Pak Cepot dan menyalahkan aku. Bagaimana jika aku dikeluarkan? Bagaimana tanggapan kakak-kakakku, orang tuaku? Meskipun aku yakin mereka tidak menyalahkan, tapi tetap saja aku tidak tega mengajak mereka dalam masalah ini. Kami sudah banyak masalah keuangan. Hidup kami sehari-hari juga sudah cukup repot. Tak terbayang olehku, alangkah kecewanya orang tuaku jika aku dikeluarkan dari sekolah karena dianggap sebagai anak yang pembangkang, melawan guru, tidak menghormati guru dan sebagainya. Alangkah bingungnya orangtuaku mencarikan sekolah baru untuk aku? Berbagai pikiran berkecamuk. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat situasi, tapi aku sudah menyiapkan diri untuk situasi terburuk, situasi dimana aku harus mengalah. Aku mulai menulis surat permintaan maaf..

Pak Cepot yang saya hormati. Bersama surat ini saya memohon maaf jika apa yang pernah saya lakukan tidak berkenan terhadap Bapak. Saya sama sekali tidak bermaksud tidak menghormati bapak sebagai seorang guru yang sudah berbakti mengajari kami dengan berbagai macam ilmu, saya juga tidak bermaksud menyombongkan diri sebagai murid yang merasa lebih tau, atau lebih bisa. Saya hanya bermaksud menyampaikan pendapat saya, suatu hal yang saya merasa tidak nyaman dan tidak berkenan, terlebih jika diungkapkan di depan kelas. Tapi saya mengerti, mungkin itu cara bapak dalam menyampaikan materi, mungkin cara itu tidak bisa saya terima, tetapi mungkin itu cara yang bisa diterima oleh teman-teman saya, karena faktanya hingga saat ini, hanya saya sendiri yang menyatakan tidak suka dengan cara itu. Saya melakukan ini tidak untuk membela siapapun, tidak juga untuk membela teman-teman saya, tetapi untuk membela harga diri saya sendiri. Tetapi saya menyadari, mungkin cara saya salah, mungkin saya belum mengerti benar seperti apa pembelajaran itu sesungguhnya. Untuk itu, saya mohon maaf sebesar-besarnya bila apa yang pernah saya lakukan dianggap tidak pantas, tidak layak dan mengecewakan banyak orang. Saya berharap, peristiwa ini dapat memberi pengalaman berharga bagi saya dan bagi semua teman-teman di kelas ini. Semoga di masa mendatang, saya bisa belajar lebih baik lagi dari sekarang….


Selesai menulis surat itu, aku tidur dengan tenang dan mencoba menghadapi hari esok dengan tegar. Besoknya, kami kembali bertemu di kelas. Entah mengapa, sekarang Pak Cepot seolah menjadi sosok yang menakutkan, setiap dia masuk kelas jantungku langsung dag dig dug tidak karuan, aku merasa dia selalu menatapku dengan tajam, aku merasa dia selalu menyudutkan aku.

Hari itu kelas dibuka dengan pelajaran, hanya kali ini dia agak lebih hati-hati, dengan seksama dia menjelaskan rencana pembelajaran hingga ulangan umum nanti, seolah-olah seperti mengoreksi kekurangan dia sebelumnya. Dalam hati aku bersyukur, bersyukur bahwa protesku sedikit membuahkan hasil. Kemudian, dia tidak lupa menuntaskan masalah kemarin.

“bagaimana? Apa kamu sudah berfikir? Apa kamu sudah bisa memahami keterangan saya kemaren? Apa kamu tetap merasa saya salah??” Pak Cepot mulai mengingatkan aku.

Aku terdiam dan menjawab pelan.

“nggak pak.. saya yang salah!!”

“Bagus…!! Mana..?? Katanya kamu mau minta maaf??”

“Ya pak..!!”

Aku langsung maju ke depan kelas, dan membacakan surat yang aku tulis semalam, aku bacakan dengan lantang, tanpa merasa ragu-ragu sedikitpun. Aku tidak merasa bersalah, tapi aku dalam posisi yang harus meminta maaf. Maka aku sampaikan permohonan maaf tersebut dalam bentuk kata-kata bersayap. Aku khawatir sekali, jangan-jangan pak Cepot bisa menangkap makna terselubung surat itu. Aku memang membacakannya sepenuh hati. Seisi kelas hening dan terdiam mendengarkannya. Ketika aku selesai membaca, sebenarnya dadaku sesak sekali, ingin rasanya aku menangis, menangis karena merasa kalah, merasa sedih harus mengalah dan meminta maaf. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Seisi kelas bertepuk riuh setelah aku melipat kertas dan berjalan menghampiri pak Cepot, bersalaman. Tapi aku berusaha menyalaminya dengan datar, tidak menyalami dengan cara menempelkan tangannya di keningku. Aku tidak sudi melakukan itu. Dalam hati aku tidak pernah merasa harus meminta maaf. Beberapa temanku mengacungkan jempol mereka tinggi-tinggi.

Pak Cepot segera menutup kelas. Aku segera kembali ke bangku, melipat kertas tersebut. Aku ingin menangis, tetapi cepat-cepat aku hapus air mata yang hampir keluar, karena aku malu dengan teman-temanku. Mereka berebut menyalamiku dan menyampaikan kata simpati. Beberapa menyatakan

“Ih.. aku sampe merinding waktu kamu baca surat itu!! Luar biasa!!”

“Kamu bener-bener nekad ya..!!”

“Bagus.. biar pak Cepot menerima pelajaran, memangnya dia bisa seenaknya!!”

Aku menerimanya dengan datar. Aku hanya berfikir, setidak-tidaknya aku berusaha menyelesaikan masalah yang pernah aku buat sendiri. Sepulang sekolah, ketika melintas di atas jembatan Cihampelas, dengan gemas surat itu aku sobek-sobek, kemudian aku lempar ke atas derasnya arus Cikapundung. Surat itu, telah menunjukkan kekalahanku, harus dimusnahkan!! Aku diliputi dendam!! Lihat Pak Cepot..!! Aku tidak pernah meminta maaf!! Aku hanya mengalah sedikit. Tapi aku tidak ingin mengalah, kamu lihat.. pokoknya kamu harus berubah…, aku harus dapat yagn terbaik dalam semua pelajaran yang kamu ajarkan nanti..! Begitu dendam yang bergema dalam pikiranku hari itu.

Aku tidak pernah melupakan peristiwa tersebut. Peristiwa itu sendiri membawa hikmah besar. Gara-gara hal itu, maka aku belajar bersungguh-sungguh, terutama untuk mata pelajaran Pak Cepot. Aku tidak ingin memberikan dia kesempatan mempermalukan aku. Aku membaca semua bab jauh sebelum dia membahasnya. Aku tidak banyak bicara di kelas ketika dia mengajar. Aku selalu berusaha mengerjakan semua tugasnya sebaik mungkin. Tujuanku hanya satu, aku tidak ingin memberikan dia kesempatan mengejek aku lagi, melecehkan aku lagi. Meskipun sejak itu dia tidak pernah berbicara apapun kepadaku, kecuali memanggil namaku ketika membagikan kertas ulangan (dan aku selalu mendapat nilai tertinggi), tapi aku tetap merasa tersiksa setiap kali dia masuk kelas. Aku merasa matanya masih terus menatapku, aku merasa dia masih terus marah kepadaku, setiap ucapannya terasa menusuk, setiap dia memanggil namaku, aku seperti tersentak. Sungguh tidak nyaman dan aku selalu ingin mata pelajarannya cepat berlalu.

Hanya, yang membuat aku senang, ternyata usahaku tidak sia-sia. Pak Cepot lumayan berubah, ternyata dia tidak lagi gemar melontarkan lelucon yang tidak pantas di depan kelas. Dia juga tidak pernah lagi berani mengganggu temanku dan menjadikan obyek lelucon dia. Dia juga cukup konsisten memperhatikan materi pembelajaran. Semuanya aku hargai sebagai suatu perubahan positif. Ketika di kelas tiga, dia mengenalkan satu mata pelajaran yang kelak menjadi satu topic yang sangat aku senangi, yaitu bumi dan antariksa, yang merupakan pecahan dari pelajaran IPA. Hanya karena aku tidak mau terlihat ‘bodoh’ dalam pelajaran tersebut, maka aku mulai membaca berbagai buku referensi. Makin lama isinya makin menarik, dan apa yang aku baca sudah melebihi apa yang tercantum di buku teks di kelas. Semua persiapanku itu tidak sia-sia. Aku merasa cukup tenang di kelas, aku merasa yakin dengan diriku sendiri, aku merasa tidak mungkin pak Cepot berani mengusik aku lagi, karena semua bahan yang akan dia ajarkan sudah aku kuasai sebelumnya. Aku siap kapanpun dia bertanya, aku selalu mendapatkan nilai tertinggi kapanpun dia memberikan ulangan. Hikmahnya, tanpa kusadari, itu membuat aku belajar lebih banyak, itu membuat aku membaca lebih sering dan membuat aku mengerti, seperti apa belajar mandiri itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar