Breaking News

Rabu, 20 Februari 2013

Surat Kecil Untuk Tuhan (My Version)



Awalnya tulisan ini dibuat gegara terinspirasi tugas sekolah Kakak, yang diminta membuat sinopsis dari novel "Surat Kecil Untuk Tuhan", yang isinya dapat dilihat di dunia maya dan dapat ditemukan dengan mudah berkat bantuan mbah Google. Meskipun belum pernah membaca novelnya secara lengkap, ataupun menonton filmnya (bukan jenis genre movie-list daku), tapi kisahnya memang mengharukan. Novel ini bukan sekedar novel sedih yang mengharubiru, tapi juga novel yang diangkat dari kisah nyata perjuangan seorang gadis remaja bernama Gitta Sessa Wanda Cantika, atau akrab dipanggil Keke, yang berjuang melawan penyakit kanker hingga akhir hayatnya. Karena diangkat dari kisah nyata, maka kisah ini benar-benar memberikan inspirasi bagaimana bersikap positif dalam menghadapi cobaan.
Isi tulisan ini bukan ingin menceritakan tentang kisah Keke, yang pastilah mudah diketahui garis besarnya, tapi kisah yang agak serupa, hanya pada tulisan ini, terjadi pada orang yang pernah sangat dekat denganku. 
Sebelum pindah ke Sekolah Alam Bandung, Kakak pernah bersekolah di SD BPI di Jalan Halimun sampai kelas 3.  Aku pernah cerita ke Kakak, bahwa dulu aku sering main ke daerah ini, ke rumah seorang sahabat yang lokasinya persis di belakang gedung SD BPI.  Namanya: Wati.

Suatu hari, salah satu kelas di SD BPI ini kebakaran.  Teriakan "Kebakaran...  kebakaran...!!", membuat semua siswa langsung berlarian keluar kelas, demikian juga dengan guru-guru. Semua mencari-cari dari mana asal teriakan tersebut. Ternyata yang berteriak adalah siswa-siswa kelas 5 yang berada di tingkat 2. Terlihat dari lapangan ada asap mengepul dari bagian atas atap.  Semua panik dan guru-guru sibuk menenangkan semua siswa.  Beberapa anak langsung menelpon orang tua masing-masing. Waktu itu masih pagi, sekitar jam 9, sehingga banyak orang tua yang kaget karena baru saja mengantarkan anaknya ke sekolah. 
Setelah semua agak tenang, guru kemudian menyelidiki asal asap tersebut. Dari speaker pengumuman, terdengar penjelasan tentang kebakaran tersebut.  Ternyata kebakaran bukan terjadi di sekolah, tetapi dari rumah yang berdempetan dengan sekolah. Semua lega dan berangsur-angsur keadaan menjadi tenang. Tetapi, banyak orang tua yang memang ditelpon anak-anaknya karena panik, sudah terlanjur datang menjemput.  Untuk menjaga ketenangan, akhirnya sekolah diliburkan mendadak hari itu. 
Aku segera datang menjemput Kakak.  Kelihatan Kakak sudah menunggu dengan tenang di halaman sekolah. 

"Jadi yang kebakaran itu rumah di belakang sekolah kamu"

"Iya bu..."

"Hm.. jangan-jangan rumah temen ibu..."

"Iya ngkali, soalnya katanya asapnya dari situ, gede juga bu.. tadi sempat ada mobil PMK segala"

"Nak, tunggu bentar ya, ibu mau liat dulu ke Jl.Patuha, penasaran, apa bener itu rumah temen ibu dulu yang kebakaran"

Aku penasaran, ingin melihat apakah rumah yang terbakar itu rumah sahabat aku dulu? 
Aku melongok sebentar ke arah Jln Patuha, dan benar ternyata yang terbakar itu adalah rumah Wati, sahabatku waktu SMA dulu. Tapi untunglah tidak ada korban, karena ternyata rumah sedang kosong, demikian info dari para petugas Pemadam kebakaran. 

Lalu, siapakah Wati, sahabatku itu?

Aku berkenalan dengan Wati waktu kelas 3 SMP. Waktu itu aku ikut mentoring di Masjid Salman dan satu kelompok dengan Wati. Wati itu anak SMPN 13.  Orangnya ceria dan penampilannya sederhana.
Kita kemudian jadi bersahabat karena ternyata Wati akhirnya bersekolah di SMA yang sama. Setelah satu SMA, aku sering ke rumah Wati, berkenalan dengan keluarganya, bahkan sering menginap.

Mula-mula Wati dan kita semua juga tidak tau tentang penyakit kanker. Aku inget, waktu kelas satu, Wati sering tidak sekolah, kadang-kadang 2-3 hari. Kalo sudah lebih dari dua hari, biasanya aku datang menengok sambil membawa buku pelajaran. Dulu kan waktu SMA, konon sekolah kami itu heboh banget, kata orang pelajarannya susah-susah. Jadi aku takut Wati ketinggalan pelajaran.  Kalo Wati sudah beberapa hari nggak sekolah, aku pasti berusaha datang sambil membawa info tugas, pe-er, atau ulangan.
Tadinya aku kira Wati sakit. Tapi setelah beberapa kali menengok, ternyata Wati nggak sakit. Trus kenapa Wati nggak sekolah?
Katanya Wati malu ke sekolah karena matanya bengkak, bukan karena sakit mata, tapi karena habis menangis semalaman sehingga paginya matanya bengkak dan Wati malu ke sekolah.

Kenapa Wati menangis semalaman?

Macam-macam penyebabnya, kebanyakan masalah keluarga. Setelah beberapa kali berkunjung, aku akhirnya sedikit-sedikit tau kondisi keluarga Wati. Ternyata, keluarga Wati hidupnya sangatlah minim. Meskipun rumah mereka di pinggir jalan besar seperti di Jl. Patuha itu, tapi rumah mereka nyaris reot. Dindingnya setengah kayu, setengah lagi bilik.  Di bagian depan keliatan bongkaran bangunan yang kayaknya nggak selesai-selesai. Isi rumahnya juga sangat sederhana, satu set kursi tua yang sudah nggak jelas warna dan bentuk joknya. Wati bercerita bahwa dia memiliki 7 kakak dan satu adik.  Orangtuanya juga sangat sederhana. Ibunya guru SMP swasta, tapi bukan SMP terkenal, ayahnya bahkan tidak bekerja karena sakit.  Konon, cerita Wati, dulu ayahnya sempat menjadi manajer hotel kelas melati. Tetapi karena sering sakit, akhirnya ayahnya hanya di rumah. 

Keadaan keluarganya inilah penyebab Wati sering menangis. Dia sedih melihat ayahnya kalo sakitnya lagi kambuh. Katanya, ayahnya sakit seperti jantung atau darah tinggi gitu. Kalo lagi kambuh, biasanya karena ada masalah keluarga, kadang-kadang ayahnya seperti mengeluh, kenapa ayahnya jadi sedemikian tidak berdaya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Kalo sudah dengar keluh kesah ayahnya, Wati sering kesel, antara benci dengan ayahnya yang terus mengeluh, dan juga kasihan. Jadi akhirnya Wati cuma bisa menangis.

Waktu itu keluarga Wati lagi susah-susahnya. Kakak-kakaknya masih kuliah, ada juga yang bekerja, tapi dengan penghasilan pas-pasan, misalnya Salesman. Nggak semua kakaknya kuliah, karena kendala biaya. Wati bercerita, kadang-kadang mereka bener-bener nggak punya makanan apa-apa di rumah, kecuali nasi. Jadi, mereka membeli kangkung satu ikat, terus dimasak sayur bening, dikasih kuah yang banyak. Supaya gurih, mereka tambahin pecin yang banyak. Kadang-kadang dicampur terasi. Jadi bumbu di rumah Wati itu ya kebanyakan pecin, aku lihat stoknya sampe berbungkus-bungkus  

Tapi, penyebab Wati nggak sekolah, bukan hanya urusan nangis. Kadang-kadang Wati bener-bener sakit. Waktu itu penyakit Wati yang aku tau, yaitu semacam kutu air di kakinya. Anehnya kutu air itu penyebarannya cukup ganas. Aku juga pernah kena kutu air, lumayan lama, sekitar satu tahun. Sudah dicoba macam-macam obat kampung, nggak ada yang cocok. Akhirnya aku pake salep terra-cotril dan cocok. Jadi waktu nengok Wati dan Wati menunjukkan kutu airnya, langsung aku janjikan bakal membelikan Wati salep itu.  Lukanya gede-gede, nggak kayak luka aku dulu. Terbuka lagi, jadi kebayang kalo pake sepatu dan kena kaos kaki, pasti sakit.

Setelah itu, aku lupa apakah karena salep itu atau karena obat lain, masalah luka kutu airnya hilang.  Tapi Wati masih sering nggak masuk sekolah, kali ini penyebabnya katanya Wati sering pusing. Oh ya, Wati ini orangnya pinter, tapi sangat gugup dan sering tidak PD. Jadi kalo di kelas ada guru galak yang tiba-tiba menunjuk dia, pasti dia menjerit dan stress.  Nah, Wati juga sering bolos tuh kalo misalnya bakal ada tugas maju ke depan kelas, misalnya baca puisi dan sebagainya.  Jadi waktu Wati sering tidak sekolah karena pusing, aku kira itu cuma alasan karena Wati takut disuruh ke depan. Aku juga mikir jangan-jangan Wati harus pake kacamata, karena katanya susah ngebaca tulisan di papan tulis kalo duduk di bangku tengah. Tapi Wati juga nggak mau duduk di bangku depan, karena sering gugup.

Waktu di kelas satu, guru Bahasa Indonesia pernah memberi tugas pidato. Waduh, males banget kan...., kita disuruh pidato apa gitu? Nyari idenya aja sudah bingung, belum lagi takut diketawain temen-temen. Aku sebenarnya nggak sekelas dengan Wati, tapi hampir setiap istirahat aku pasti mampir ke kelas Wati untuk ngobrol-ngobrol. Jadi hampir semua teman Wati jadi teman akrab. Nah.. dalam rangka tugas pidato itu, kita diskusi topik apa yang cocok untuk dipidatokan. Kebanyakan temen-temen milih topik tentang agama. Maklum, kan kebanyakan temen-temenku waktu itu ikut mentoring di Masjid Salman.  Sewaktu semua sibuk membicarakan topik pidato, Wati diem aja, nggak ngomong apa-apa, malah sibuk baca buku kecil. Aku penasaran, buku apa sih? Asyik banget? Novel ya?

Eeeh, ternyata pas ditunjukin judulnya, aku jadi heran, ternyata judulnya tentang "kematian". Aku lupa judul persisnya, apalagi pengarangnya. Rupa-rupanya Wati sedang mempersiapkan bahan pidatonya. Besoknya, aku dengar cerita dari temen-teman, bagaimana hebatnya pidato Wati. Aku heran, kan Wati itu mudah gugup, kok bisa pidatonya hebat. Kata temen-temen di kelas Wati, saking hebatnya pidato Wati, sampe satu kelas hening mendengarkan, dan banyak yang terharu dan bergetar. Katanya Wati pidato tentang kematian, tentang bagaimana rasanya menyongsong maut, bagaimana rasa sakit ketika meregang maut dan sejenis itu. Jelaslah semua merinding mendengarnya. Wati yang biasanya gugup, kata temen-temen, berbicara lantang dan lancar, seolah-olah berada di alam lain, seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri, bukan dengan temen-temen yang dia kenal. Kata temen-temen, kalimat yang juga paling aku ingat sampai sekarang :
Apakah kamu pernah membayangkan seperti apa rasanya maut itu?
Rasanya seperti seekor burung yang dicabut bulu-bulunya dan dilemparkan ke minyak panas...

Sayang aku nggak sekelas, jadi cuma denger ceritanya aja....

Setelah itu kita naik kelas 2, dan akhirnya Wati memeriksakan matanya. Seperti dugaanku, konon menurut dokter Wati harus pake kacamata. Wati itu anaknya cantik dan manis,  Sayang aku nggak punya fotonya, hilang waktu pindahan rumah.  Jadi hampir tiap hari aku mampir ke kelasnya dan nanya, kapan kacamatanya jadi? Aku ngebayangin pasti Wati makin manis dengan kacamata itu. Suatu hari Wati menunjukkan kacamatanya, tapi tidak langsung dipake, katanya kalo dipake masih terasa pusing, padahal sudah 3 hari dia pake. Aku bilang, mungkin salah ukuran, nggak cocok, dan sejenisnya. Minggu berikutnya Wati bilang bahwa dia malah jadi pusing urusan kacamata. Soalnya, menurut dokter yang memeriksa mata Wati, konon katanya ukuran minus mata Wati berubah-ubah terus, jadi tiap udah dibuatin kacamata, dipake, eh.. berubah lagi, nggak cocok lagi. Jadi, akhirnya Wati pake kacamatanya sebentar sebentar aja.  Malah jarang dipake, katanya malah bikin makin pusing.

Oh ya, Wati itu sering sekali ngeluh pusing. Tadinya aku pikir karena pelajaran fisika dan matematika yang waktu itu kita semua juga pusing. Tapi kata Wati, seperti ada rasa sakit di kepalanya. Wati ini orangnya rajin sekali ibadahnya Kalo lagi shalat keliatannya khusyu banget, sampe badannya rada goyang gitu kalo berdiri shalat, dan kalo sedang duduk shalat, kelihatan kepalanya bergoyang-goyang ketika membaca bacaan shalat. Jadi semua menduga karena demikian khusyu dan menjiwainya tentang bacaan shalat. Eeeh.. baru diketahui beberapa lama kemudian, ternyata kepala Wati yang bergoyang-goyang tersebut itu karena menahan sakit kepala, yang katanya kalo didiamkan, sangat terasa sakitnya.
Dipicu oleh ukuran kacamata Wati yang berubah-ubah terus, dokter mata akhirnya memberikan rekomendasi untuk pemeriksaan lebih lanjut. Aku lupa lagi kapan persisnya. Pokoknya, yang aku ingat, Wati tidak sekolah cukup lama, katanya sedang berobat serius di RSHS. Ketika masuk, akhirnya Wati bercerita bahwa setelah diperiksa dengan lebih teliti, ternyata Wati ada tumor di otaknya..!!

Haaa?? Tumor otak?? 

Jelas aku dan temen-temen kaget.. Kok bisa?? Menurut cerita Wati, dan juga penjelasan dari kakak temen, yang waktu itu masih mahasiswa tingkat akhir kedokteran, itulah sebabnya kenapa kepala Wati sering pusing, dan ukuran kacamatanya berubah-ubah. Konon katanya akibat terjepitnya syaraf-syaraf tertentu akibat benjolan tumor tersebut. 

Setelah itu, Wati masih bersekolah seperti biasa. Konon dokter menawarkan operasi, tetapi dengan peluang 50%. Kalo gagal, maka resikonya meninggal dunia, atau jika selamat, kemungkinannya cacat otak (cacat mental).  Jadi keluarga Wati bingung. Belum lagi biaya operasi yang konon mencapai puluhan juta.  Nah, untuk sementara, akhirnya Wati bersikap cuek dan menjalani hidup seperti biasa. Tetap sekolah, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. 

Wati orangnya sangat sederhana, tapi berpikiran jauh ke depan. Aku seringkali malu kalo ngobrol dengan Wati. Pernah sekali waktu, ada peringatan Hari Kartini.  Semua cewek-cewek pastilah pengen berdandan cantik dengan baju adat. Semua teman-teman sibuk mencari penyewaan baju adat dan salon untuk berdandan.  Semua, kecuali Wati.  Karena kita tau kondisi ekonominya yang pas-pasan, jadi kita semua sepakat akan menyewakan baju adat dan membayari ongkos salon, supaya besok kita bisa mejeng-mejeng di sekolah dengan baju adat. Tapi Wati menolak, bahkan makin dipaksa, makin keras menolaknya. Akhirnya Wati ngadat tidak sekolah sehingga kepaksa aku tengok.  Kali ini Wati bahkan tidak mau keluar menemuiku. Ibunya menyampaikan surat untukku, katanya Wati sakit.  Aku baca suratnya, isinya kira-kira begini:
Terima kasih sekali atas kebaikan temen-temen yang mau bersusah payah menyewakan baju adat dan mencarikan salon. Bukannya saya tidak bersyukur menerima kebaikan temen-temen. Tapi itu malah membuat saya makin sedih dan terus menangis semalaman. Saya sungguh tidak layak untuk itu. Membayangkan berapa banyak uang yang harus dihabiskan untuk acara tersebut, sementara ibu saya bersusah payah menghemat uang untuk membeli beras dan lauknya, saya merasa tidak berdaya. Jadi tolong maafkan saya kalo saya tidak bisa datang di acara hari Kartini. Selamat bersenang-senang temen-temen. Percayalah, saya juga ikut seneng dari jauh.
Aku terharu membaca suratnya. Surat itu aku serahkan ke teman-teman, yang akhirnya sepakat membatalkan penyewaan baju dan berencana akan menyerahkan uangnya saja ke Wati.  Aku juga lupa, siapa yang akhirnya menyerahkan uang tersebut.

Satu peristiwa lagi yang paling aku ingat ya....., tentang keteguhan hatinya.  Waktu itu kan kita masih pada ABG gitu kan.. pastilah banyak kecengan.  Nah, karena kita aktif di masjid, maka kecengan kita pastilah seputar pemuda masjid. Ada salah seorang kecengan kita ini top banget deh... Selain cakep, tajir, pinter, eeeh soleh lagi. Kerjanya cuma ngajakin orang-orang supaya datang ke pengajian. Wati nge-fans banget sama cowok ini, sehingga dengan gembira ria Wati selalu datang di tiap acara pengajian yang diundangnya. Aku sendiri belum pernah datang, karena acaranya sering bentrok dengan acara kelasku.  Sekali waktu, pas aku bisa datang, dengan semangat aku ajak Wati datang ke acara pengajian undangan cowok keren ini. Tapi, aku kaget karena Wati malah menolak keras. Katanya sudah 2 minggu Wati tidak hadir di pengajian tersebut.

“Lho kenapa? Acaranya nggak rame? Penceramahnya ngebosenin?”

“Bukan.. acaranya sih rame banget.. apalagi ada si Doi yang keren itu, sibuk bolak balik, ngurusin kabel lah, ngurusin konsumsilah, dan selalu tersenyum dan menyapa tiap kali papasan”

“Naah.. justru… kan.. kesempatan...!!”

“Justru itu lah.. makin lama aku makin takut..”

“Takut kenapa?”

“Takut terpeleset niat..!”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, nanti aku takut, lama-lama niat aku datang ke pengajian tersebut bukannya beribadah, mencari ilmu, eeh malah mau ngeceng... Nanti ilmunya malah makin nggak dapet apa-apa.. malu aku...”

“Malu kenapa? Kan nyambi-nyambi nggak apa-apa. Nyambi ngeceng, nyambi dapet elmu..”

“Hussy.. apa yang kita dapet itu gimana niatnya.. kalo niatnya ngeceng, aku khawatir dateng ke sana cuma pemubaziran aja.. Ilmunya nggak dapat. Malu aku..”

“Malu sama siapa?”

“Malu laah.. gimana gitu rasanya, tiap berdoa kepada Allah, tolong luruskan niatku. eeh.. malah mukanya yang kebayang”

Aku dulu nggak ngerti, kenapa Wati sampai bisa berfikiran sejauh itu.

Saat-saat itu, gedung sekolah SD BPI baru dibangun. Kalo aku nginep di rumah Wati, kamar yang kami tempati itu pas nempel dengan gedung sekarang. Aku bisa mendengar suara berisik pekerjaan bangunan. Aku tanya ke Wati, mereka lagi membangun apa ya?

“Ooh, itu lagi membangun gedung SD”

“SD apa??”

“SD BPI”

“BPI?”

“Oooh.. itu, sejenis SD orang-orang kaya gitu lah.. Nanti kalo sudah jadi SD nya, kamu jangan kaget, kalo jalan masuk ke arah sini jadi agak macet.”

Waktu itu aku cuma manggut-manggut tidak begitu mengerti. Maklum, aku cuma dengar-dengar dikit nama BPI dari beberapa temen SMA.

Wati juga orangnya sangat rumit pemikirannya, menurut ukuran aku dan teman-teman waktu itu. Pernah sekali waktu, Wati menolak shalat menggunakan sejadah yang bagus dan tebal di rumah temen. 

“Aku pake kaen sarung dilipet aja aah”

“lha knapa? Pake sejadah itu knapa? Kan dingin”

“nggak ah.. takut nggak khusyu”

“Lhoo knapa?”

“Waktu itu kan aku pernah shalat di rumah Shanti, tau kan Shanti temen sekelasku itu. Beliau ini tajir melinter banget loo menurut ukuran aku. Nah waktu shalat di rumah Shanti, aku disodori sejadah. Sejadahnya bagus sekali, tebal dan halus. Pas aku sujud, tangan aku sampe terbenam di bulu-bulu sejadahnya.. Eeeh.. bukan malah mikirin shalat, malah dalam hati aku ngomong sendiri.. enak ya jadi orang kaya.. sejadahnya aja bagus banget, tebel, empuk, wangi,  nggak kayak sejadah di rumahku yang tipis, udah rada nerawang dan bau pula..!!”

“Aaah ..!! Dasar kamu, mikirnya kemana aja!!”

“Makanya sekarang aku takut pake sejadah bagus-bagus, takut nggak khusyu dan malah mikir kemana-mana..he..he..”

Membran semipermeable

Pernah juga Wati mengeluh, meskipun dengan teman-temanku yang lain, Wati cukup akrab, tapi Wati tetap merasa ada jarak, kecuali dengan aku. Sebab menurut Wati, meskipun mereka itu baik-baik, tapi :

“Mereka tetap beda dunia dengan kita ….. tetap tidak bisa memahami kondisi kita sepenuhnya, ya gimana siii.. dunianya aja beda..!!”
Lama aku baru mengerti, apa maksud “beda dunia” ini. Ternyata maksud Wati, teman-temen kami yang memang rata-rata berasal dari keluarga mapan itu belum tentu bisa memahami benar kondisi keluarga aku dan Wati.  Waktu itu kondisi keluargaku juga beda tipis sama keluarga Wati. Jadi, kurang lebih alur curhat kami itu seperti membran semi-permeable pada peristiwa osmosis. Temen-temen akan bercerita semuanya, sebaliknya, kami hanya bercerita hal-hal tertentu, karena kami nggak yakin, mereka benar-benar bisa paham kondisi kami.

Singkat cerita, makin hari sakitnya makin bertambah parah. Akhirnya aku dengar, menurut diagnosis dokter, penyakit Wati bukan lagi tumor otak, tetapi sudah berubah menjadi kanker otak. Karena mereka tidak mampu secara ekonomi, maka usaha berobat terbatas ke alternatif seadanya. Sampai suatu hari ada teman sekelasnya yang kebetulan kaya raya, anak tunggal, menawarkan bantuan berobat.  Orang tua temannya itu mengajak Wati tinggal di Jakarta, di rumah mereka, supaya dekat dengan tempat berobat. Konon orang tua Wati memilih sejenis pengobatan alternatif di Jakarta, tapi katanya harus kontinyu dan lama. Lama juga Wati tinggal dengan keluarga tersebut. Menurut cerita Wati, mereka memperlakukan Wati seperti anaknya sendiri. Kemana-mana Wati diajak. Sering Wati diajak berbelanja ke Mall, sering juga Wati perang batin menahan keinginan antara ingin memiliki barang, misalnya tas atau baju, dan malu dengan keluarga tersebut. Meskipun mereka akan dengan senang hati membelikan apa saja yang Wati pegang, tapi Wati cukup bisa menahan diri dan langsung membayangkan wajah ayah ibunya setiap kali memegang barang yang menurut Wati tergolong "mewah". 

Pengobatan berlangsung sekitar 6 bulan, dan tiba-tiba Wati pulang ke Bandung. Aku kira sudah sembuh, ternyata Wati memutuskan pulang dengan alasan berpura-pura "sembuh",  padahal sebetulnya masa pengobatannya belum selesai, karena Wati sudah sangat malu berada di rumah keluarga itu. Menurut Wati, mereka terlalu baik, dan Wati merasa terlalu merepotkan, sehingga Wati memutuskan untuk melakukan pengobatan dari Bandung, dengan cara bolak-balik seminggu sekali.

Setelah pulang dari pengobatan, sebetulnya kondisi Wati sudah jauh menurun, Matanya agak cekung. Badan juga jauh lebih kurus. Seingatku, Wati pernah sekali menjalani kemotherapy, tapi katanya nggak kuat, muntah-muntah dah pusing lamaa sekali setelahnya, belum lagi biayanya. Rambut Wati juga lebih tipis dibandingkan sewaktu kelas satu. Tapi Wati masih sangat optimis. Sedemikian optimisnya sehingga Wati, ketika badannya dirasa kuat, pasti ke sekolah. Hampir dua hari sekali aku mampir ke rumahnya untuk meneruskan pelajaran sekolah.  Aku merangkap sebagai guru privat-nya, ngajarin apa aja yang kira-kira aku bisa.  Wati masih sangat bersemangat belajar, meskipun sering tidak sekolah.  Aku cuma bantu sedikit-sedikit, terutama untuk pelajaran fisika dan kimia. Pelajaran lain Wati bisa belajar sendiri. 

Naik ke kelas tiga SMA, aku dan teman-teman agak jarang ke rumah Wati karena kita juga semakin sibuk. Selain sekolah, ada juga pemantapan, dan banyak temen-temen ikut bimbingan belajar. Maklum persiapan ujian akhir dan test untuk kuliah nanti.  Pembicaraan kita seputar angan-angan ingin kuliah di jurusan mana.  Sesekali aku masih mampir ke rumah Wati, dan diskusi masih lancar seperti biasa. Wati bercita-cita, jika nanti sembuh, ingin kuliah di Jurusan Psikologi. Tapi, di semester pertama kelas tiga, Wati makin sering sakit. Kadang-kadang berminggu-minggu tidak kelihatan di sekolah, dan kalo aku tengok di rumahnya, kadang-kadang hanya istirahat tidur-tiduran, katanya pusing dan badannya lemas. 
Kondisi Wati sedikit ceria ketika ada acara pernikahan kakaknya.  Aku sempat datang, dan Wati menyempatkan diri difoto dengan menggunakan baju acara pernikahan. Acaranya sendiri berlangsung sederhana dan ibunya Wati sangat senang karena Wati cukup kuat untuk datang ke gedung  untuk menyaksikan pernikahan kakaknya, meskipun di gedung Wati banyak duduk. Setelah pernihakan kakaknya, ternyata kondisi kesehatan Wati turun terus. Wati lebih banyak diam di rumah, tidak banyak bicara dan lebih banyak berdoa, sholat dan berdzikir. Tiap kali aku datang menengok, aku lebih sering mengobrol dengan ibunya karena Wati sendiri sedang tidur, atau sedang berdzikir di kamarnya. Jika keadaanya sedang enak, biasanya aku sempatkan mengobrol sebentar.

Akhirnya, aku juga jadi agak jarang ke rumahnya karena sibuk bimbel dan sejenisnya. Pernah sekali waktu aku dengar dari teman, katanya penyakit Wati kambuh cukup parah sehingga dibawa ke dokter, tapi tidak sampai dirawat.  Setelah itu kondisinya stabil tapi tetap dalam keadaan lemah.
Sekali waktu, waktu itu aku masih di kelas bimbel, aku dipanggil temen dari luar kelas. Aku keluar dan temenmenyampaikan bahwa baru saja diterima berita Wati meninggal dunia. Sewaktu mendengar kabar itu, aku merasa badan melayang sesaat, kaki berasa tidak menginjak bumi. Aku sedih, tapi tidak bisa menangis, karena aku memang sudah menyadari sejak lama, bahwa mungkin saja suatu saat Wati akan meninggalkan kita semua lebih cepat. 

28 November 1985

Aku masih ingat tanggalnya, 28 November 1985.  Aku ingat karena dulu kan kita punya semacam geng temen-temen, nah semua anggotanya diberi nomor anggota berupa tanggal lahir. Nomor anggota Wati adalah 2911, artinya tanggal 29 bulan November. Jadi Wati meninggal satu hari tepat sebelum ulang tahunnya yang ke 17. Aku sedih sekali membayangkannya bahwa besoknya kita akan mengucapkan selamat ulang tahun di atas nisannya.
Siang itu juga aku mampir ke rumah Wati. Sudah banyak orang. Aku lihat jenazahnya sudah dibaringkan di tengah-tengah ruangan. Wajahnya diikat dengan kain, dan di tengah-tengah keningnya ada semacam tonjolan urat besar. Konon, menurut dokter, penyebab kematiannya adalah pecahnya pembuluh darah di otak. Aku bahkan nggak bisa nangis, hanya duduk diam memandang wajahnya. Sementara orang-orang membicarakan rencana pemakamannya.

Besok harinya kita semua pergi ke Garut, kampung halaman Wati. Rupanya keluarga Wati memutuskan akan memakamkan Wati di Garut.  Sebelum kain kafan ditutup, keluarganya memberi kesempatan untuk melihat terakhir kali. Aku sempat mencium pipi Wati, mengucapkan selamat ulang tahun. Setelah itu, kita semua mengantarkan Wati ke peristirahatan terakhir. Aku masih duduk diam di sisi makamnya sampai semua orang pergi, melihat gundukan tanah merah dansekuat tenaga berusaha menahan air mata. Katanya air mata membuat Almarhumah terasa berat di perjalanan menuju alam barzah. 

Aku teringat hari-hari bersama Wati. "Kamu itu ya.. siapa kecengan kamu sekarang?"; "Ajarin aku fisika doong?";"Iih guru Kimia satu ini nyebelin ya.. Kok aku nggak ngerti2?", dan celoteh-celoteh Wati lainnya. Sambil duduk terdiam di sisi makamnya, di kepalaku terngiang-ngiang lagu Ebiet G Ade. Aku dan Wati waktu itu, sama-sama penggemar lagu-lagu Ebiet G.Ade, salah satunya yang berjudul Camelia IV...

Batu hitam
diatas tanah merah
Disini akan kutumpahkan rindu
Kugenggam lalu kutaburkan kembang
Berlutut dan berdoa
Syurgalah ditanganmu,
Tuhanlah disisimu
Kematian adalah tidur panjang
Maka mimpi indahlah engkau
...................
...................

Setelah menyanyikan lirik lagu itu dengan lirih,  aku nyerah.. nggak bisa nahan tangis... Memang berat dan menyedihkan kehilangan sahabat seperti ini. Sampai sekarang aku nggak pernah lupa detik-detik terakhir bersama Wati.  Penyakit kanker memang mengerikan, dan juga sangat menyedihkan, apalagi jika menimpa orang yang tidak mampu seperti Wati... 
Berbulan-bulan kemudian, saat aku mampir, aku menemui ayah Wati yang masih sering duduk di jendela depan rumahnya, melihat anak-anak sekolah yang lewat dan membayangkan barangkali ada Wati di antara mereka... Sang Ayah berkata: 
Kita bisa menerima kehilangan orang tua, dan berfikir itu wajar, mereka sudah lanjut usia.. Tapi, kehilangan yang usianya lebih muda, sangatlah berat untuk ikhlas..

Kembali kepada kejadian kebakaran rumah Almarhumah. Aku nggak pernah membayangkan bahwa akhirnya, setelah sekian puluh tahun, aku bisa melihat rumah itu lagi. Untunglah kebakaran itu hanya menghanguskan bagian atas rumah, persis di kamar yang dulu sering aku tempati ketika menginap.  Info dari petugas, keluarga Wati yang tinggal di rumah itu tinggal ayah ibunya dan adiknya yang kecil.  Kakak-kakaknya sudah pindah ke berbagai daerah.

Bandung, 21 Februari 2013